Pura Besakih di Metaverse?

0

Oleh: IGP Rahman Desyanta

JANUARI 2022, ramai berita bahwa alun-alun Yogja dijual di platform metaverse nextearth.io. Tanggapan pun langsung menyeruak menanggapi isu tersebut. Sultan Hamengku Bhuwono X selaku gubernur sekaligus raja dari daerah istimewa tersebut tak menanggapi serius hal itu. Sepertinya beliau menganggap itu sebagai semacam keisengan yang segera lampus begitu tren dan euforia menyurut.

Tapi banyak kalangan menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya jika hal itu dibiarkan?

Istilah metaverse marak sewaktu Mark Zuckerbeg, memperkenalkan nama baru perusahaan besutannya dari Facebook menjadi Meta. Dalam visinya, dengan metaverse kelak dunia akan terkoneksi secara virtual tanpa ada yang membatasi. Akan ada dunia-dunia baru di ranah virtual yang menjadi alternatif bagi kehidupan manusia.

Dalam film “Ready Player One”, digambarkan bahwa saat ini sesungguhnya sebagian manusia telah berada di dua dunia: dunia game dan dunia nyata. Di filmitu, semua orang menjadikan dunia game sebagai tempat mereka mencari dan mendapatkan uang. Pembelian barang juga dilakukan di dalam game.

Film itu memberi gambaran yang baik tentang metaverse; realitas digital yang dibangun sebagai alternatif di mana setiap pengguna berinteraksi dan bertindak di ranah digital sembari tetap terhubung dengan realita sesungguhnya.

Namun sesungguhnya metaverse tidak sesederhana gambaran dalam film itu. Ia jauh lebih terintegrasi ke kehidupan nyata. Jika dalam “Ready Player One” masih ada sekat antara dunia nyata dan dunia game, dalam metaverse kehidupan nyata dan kehidupan digital tak bersekat sama sekali.
Hal terjadi hanya manakala beberapa teknologi, semisal augmented reality dan virtual reality, tergabung.

Dua teknologi tersebut serupa reality experience alias mesin yang didedikasikan untuk membangun realitas baru. Virtual reality cenderung membentuk realitas yang sepenuhnya berada di platform digital, sedangkan augmented reality menjadikan realitas digital terlihat berbaur dengan realitas nyata. Di metaverse, kita yang bekerja dari rumah mengenakan piyama dapat terlihat duduk di belakang meja kantor mengenakan busana resmi. Kita bisa makan malam di bawah Menara Eifel dengan kolega di Paris, meski sesungguhnya kita sedang nangkring di warteg dekat rumah.

Di metaverse kita pun bebas mengekspresikan diri dan mewujudkan imaginasi. Ini yang membuatnya menarik dan dirasa sangat membantu pekerja kreatif dalam mempresentasikan karya. Metaverse membangun kemungkinan-kemungkin- an tak terbatas berikutnya, semisal dunia dengan mekanisme baru di mana kita dapat berpindah dari metaverse satu ke metaverse lain untuk menyewa kantor di situ sementara menumpuk aset di metaverse lainnya. Meski masih di ranah imaginasi, namun perkembangan teknologi dan generasi pendukungnya membuat hal itu terasa sudah di depan pintu.

Bagaimana Jika Besakih dijual di Metaverse? 
Kembali ke isu Alun-alun Yogjakarta yang dijual, bagaimana mesti kita menyikapinya? Bukankah itu sesuatu yang gawat? Tenang. Tidak semua barang di metaverse memiliki afiliasi dengan barang sebenarnya. Realita metaverse itu hanya ada di dunia virtual selama dia tidak diafiliasikan. Jadi alun-alun Yogjakarta yang dijual di metaverse itu semata-mata alun-alun metaverse. Bukan
aslinya.

Meski begitu, kita tak boleh juga menganggap sepele hal tersebut. Sebaliknya, kita justru harus mencermati seksama potensi besar di belakangnya. Sebab, suka tidak suka, metaverse terus meruyak dan akan menjadi masa depan kita, di mana sisi positifnya akan memberi banyak peluang bagi daerah kaya budaya seperti Bali.

Mari membuat simulasi: Kawasan Besakih dijual oleh seseorang di metaverse. Meski tidak berafiliasi ke pura aslinya, saya membayangkan akan ada sentimen yang akan memicu kegaduhan di Bali. Nah, inilah yang mesti diantisipasi. Kini mari kita lihat sisi baiknya yakni peluang bagi kita untuk membangun BudayaBali yang “ideal” di mana kita dapat menjaga kesakralan pura atau gunung atau apa pun yang hendak kita sakralkan dengan sungguh-sungguh. Orang yang melanggarnya secara otomatis akan terkena akibatnya saat itu juga. 

Di metaverse kita bisa membangun Pura Besakih persis seperti di dunia nyata di mana orang-orang bisa keluar-masuk Pura untuk keperluan bersembahyang atau melihat-lihat. Ini memungkinkan wisatawan mengunjungi Pura Besakih di metaversenya saja. Dengan begitu, di dunia nyata kita dapat membatasi wisatawan masuk ke pura itu untuk menjaga kesakralannya.

Tidak hanya Pura Besakih, Gunung Agung dan semua sisi di Pulau Bali yang sakral pun dapat dibuatkan mekanisme serupa.

Bagaimana soal kepemilikan Pura?

Dalam metaverse, ada aturan-aturan yang memang disiapkan oleh pembentuk dunia virtual ini. Menurut saya, untuk virtual land, mekanisme Decentralized Autonomous Organization (DAO) adalah mekanisme yang paling cocok. DAO adalah organisasi yang diatur oleh aturan otomatis yang disematkan dalam smart contract dan dicatatkan di jaringan blockchain. DAO memberi kemungkinan sebuah organisasi tidak memerlukan pengelola karena pengelolaannya diatur oleh sistem. Persis seperti Bitcoin yang saat ini bergerak tanpa managemen sama sekali melainkan digerakkan oleh aturan smartcontract yang telah disematkan sebagai tata kelola koinnya. DAO dapat menjadi dasar dunia virtual di metaverse, di mana tanah, kepemilikan, dan zonasi diatur sedemikian rupa. Di sinilah pura seperti Besakih diatur sebagai fasilitas publik dalam smartcontract sehingga tidak seorang pun bisa membelinya.

Lalu, siapa yang mesti berperan memastikan itu?

Dalam hal ini, semua kalangan harus ambil bagian. Pemerintah merumuskan aturan tentang tanah virtual sehingga pengelolaan atau pembentukan DAO dapat diatur dan diamini oleh publik. Agar virtual land yang kita bangun di metaverse otentik dan tidak ambigu, pengakuan masyarakat Bali sangat diperlukan. Pada konteks ini peran tokoh masyarakat sangat diperlukan. Pendaftaran nama-nama pura ke badan HAKI sebagai merek pun perlu dipertimbangkan untuk menghindari penyalahgunaan nama-nama pura untuk kepentingan-kepentingan di luar religiusitas/keagamaan.[]

*Penulis adalah CEO Baliola.com dan Kepeng.io

Post a Comment

0Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*