Proses Penempaan Keris Pusaka Di Prapen Wesiaji

0


Oleh: Agung Bawantara

Penempaan keris pusaka dapat memakan waktu lama dengan proses pengerjaan yang cukup berat. Tulisan ini memaparkan sekilas proses penempaan keris pusaka yang dijalani oleh Mpu Keris Pande Made Suardika dari Prapen Wesi Aji, Banjar Regal Kuwalon, Sumerta Kaja, Denpasar, Bali.  

1. MEWIRASA 
Pembuatan keris pusaka umumnya berawal dari keinginan seseorang atau sekelompok masyarakat untuk memilikinya. Mereka mendatangi Empu Keris untuk mengutarakan keinginan tersebut. Pada perjumpaan itu, kepada Sang Mpu mereka menyampaikan keris seperti apa mereka ingini. Biasanya pada perjumpaan itu percakapan akan berlanjut mengenai hal apa yang mendorong orang atau kelompok masyarakat itu membuat keris pusaka. Juga mengenai jenis, bentuk, ukuran, dan jumlah luk (lekuk) yang akan dibuat. Pertemuan awal tersebut biasa disebut dengan mawirasa. 

Sang Mpu menyimak dan mencermati semua keinginan tersebut sebagai bahan untuk menentukan karakter keris seperti apa yang akan ia buatkan untuk orang atau kelompok masyarakat itu nantinya. 

Selanjutnya, pada saat mawirasa tersebut dipilih hari baik untuk melakukan ritual permulaan dalam proses pembuatan keris. Ritual tersebut dinamakan nuasen.

2. MEMILIH BAHAN
Setelah pertemuan pertama itu, Sang Mpu segera memilih bahan yang akan ditempa menjadi keris pusaka. Di Bali, bahan keris pusaka terdiri dari tiga jenis logam yakni besi, baja, dan serpihan meteorit.  Serpihan meteorit kerap diganti dengan nikel. Tiga jenis logam tersebut memiliki titik lebur yang berbeda-beda. Itulah tantangan dalam proses penempaan yakni mempersatukan tiga jenis logam dengan titik lebur yang berbeda. 

3. MEMBUAT ARANG
Pada proses selanjutnya, penempaan dan pelipatan logam sebanyak ratusan ribu kali memerlukan energi panas yang cukup tinggi. Bahan baku energi panas tersebut adalah arang kayu jati atau arang bambu. Maka sebelum melakukan proses penempaan Mpu Keris terlebih dahulu menyiapkan arang pembakaran. Untuk pekerjaan ini biasanya ia meminta bantuan satu atau beberapa orang. Merekalah yang membakar potongan-potongan kayu jati atau bambu kualitas terbaik itu. Pembakaran bisa dilakukan di atas pemukaan tanah lapang atau pada sebuah lubang di dalam tanah. 
Proses pembakaran kayu jati atau bambu tersebut memerlukan waktu antara empat  hingga tujuh jam.  

Setelah membara sempurna, api yang membakar kayu atau bambu tersebut dipadamkan. Pemadaman api dilakukan dengan menyipratkan air secukupnya. Begitu api padam,  bakal arang yang masih panas itu ditutup dengan lembaran plat logam lalu di atasnya ditutupi lagi dengan tanah. Bahan arang tersebut dibiarkan terpendam di situ selama dua hingga tiga hari. Maksud dari perlakuan itu adalah agar bara kayu atau bambu padam secara perlahan dan merata. 

Kenapa tidak dipadamkan saja dengan air agar lebih cepat prosesnya? Pemadaman seketika dengan air membuat bara tak rata melumat kayu atau bambu hingga menjadi arang dengan sempurna. Akibatnya kualitas arang secara keseluruhan menjadi kurang baik. Ada yang telah sempurna menjadi arang, ada yang baru setengah, ada pula yang masih berupa kayu atau bambu. Arang semacam itu jika digunakan akan merepotkan proses penempaan, sebab ia akan menimbulkan banyak abu di tungku perapian. 

Secara spiritual pemendaman arang tersebut untuk mendapatkan tambahan energi bumi yang menguatkan energi panas bara arang saat digunakan untuk membakar logam bahan keris di tungku perapian. 

Setelah dibiarkan terpendam selama beberapa hari, timbunan itu digali. Arang yang sudah dingin dan padat pun diangkat dari dalam lubang. Memudahkan penyimpanan, arang tersebut dikemas dengan karung-karung besar.  
Arang yang telah siap digunakan ditempatkan di pojok khusus di dekat perapian. Maksudnya tentulah agar arang tersebut mudah dijangkau saat proses pemanasan dan penempaan. Mpu mengatur secara khusus kelembaban pojok tersebut agar arang yang disimpan di situ tetap dalam kualitas terbaiknya. 

4. NUASEN
Nuasen adalah ritual pertama dalam proses pembuatan keris pusaka di Bali. Ritual ini diselenggarakan pada sebuah “hari baik”. Hari itu kemudian dianggap sebagai hari pertama dari proses pembuatan keris pusaka. 
Pada hari itu orang atau kelompok masyarakat yang memesan keris mempersembahkan sesajen khusus kepada Hyang Brahma Rudra, Dewa Penciptaan sekaligus Dewa Peleburan. Sesajen persembahan tersebut dihaturkan melalui mantra-mantra yang diucapkan oleh Mpu Keris. 

Setelah sesajen dipersembahkan oleh Mpu Keris kepada Hyang Brahma-Rudra, selanjutnya Sang Mpu memanaskan bahan keris yang terdiri dari tiga jenis logam yang telah dipersiapkan sebelumnya ke dalam perapian. Logam tersebut dipanaskan ribuan derajat Celcius hingga mencapai titik leburnya. Setelah bahan keris itu memerah, pertanda titik leburnya sudah tercapai, Mpu meletakkan logam tersebut di landasan penempaan. Mpu kemudian mempersilahkan Pemesan untuk menempa logam tersebut dengan godam sebanyak tiga hantaman. 

Sebelumnya, Mpu menyarankan kepada orang yang memesan keris pusaka darinya, agar sembari menghantamkan godam ke bahan keris yang membara itu ia mengucapkan niat untuk tujuan apa keris itu dibuat. Menurut keyakinan, energi dari niat tersebut akan terekam di dalam logam membara yang nantinya akan diolah menjadi keris. Itu sebabnya keris memiliki energi sebagaimana yang diniatkan oleh pemesan atau pembuatnya. 

Selanjutnya, besi tersebut akan ditempa hingga puluhan ribu bahkan jutaan pelipatan. Semakin banyak jumlah pelipatannya, semakin murni logamnya dan semakin tinggi kualitas karbonnya. 

5. MIJEH / PENEMPAAN
Setelah bahan baku logam dan arang sudah siap, saatnya Sang Mpu memasuki tahap penempaan. Inilah tahap utama dalam proses pembuatan keris pusaka. Inilah tahap terberat dan terpanjang dari keseluruhan proses. 
Pada proses ini Mpu bekerja dalam suasana yang sangat panas saat melelehkan logam yang akan ditempa di perapian dengan bara yang panasnya ribuan derajat celcius. Setelah logam tersebut mencapai titik lebur, Sang Mpu harus menghantam logam tersebut dengan godam besar yang berat. Berat palu godam itu beragam, dari 500 gram, 1 kilogram, hingga 5 kilogram. 
Menghantamkan godam ke permukaan logam yang tengah membara pun tidak sembarangan. Ketepatan waktu, takaran tenaga,  ritme hantaman, dan posisi permukaan yang dihantam harus diperhitungkan sebaik-baiknya. Penghantaman yang terlalu lambat akan membuat bara lekas mendingin dan logam menjadi keras kembali sehingga sulit ditempa. 

Jika hantaman godam terlalu keras dan ritmenya tak beraturan, maka logam yang ditempa akan kacau bentuknya. Salah-salah malah patah. Jika itu terjadi, perlu usaha ekstra untuk menyatukannya kembali. 

Ketepatan bidang yang dihantam juga harus presisi. Jika meleset akan merusak bentuk. Bentuk yang rusak memerlukan waktu dan tenaga untuk memperbaikinya kembali. 
Jadi, semua itu memerlukan perhitungan yang tepat dan kondisi fisik yang prima. 

Tentang kondisi fisik yang prima, jika banyak pekerjaan lain dapat dikerjakan dalam kondisi yang fisik kurang fit, pada proses penempaan keris hal itu tak dapat dilakukan. Kondisi yang kurang prima akan membuat konsentrasi menurun. Konsentrasi yang rendah tidak hanya akan membuat logam menjadi rusak tetapi juga dapat membahayakan keselamatan diri dan orang-orang di sekitar. 

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahan keris yang ditempa Sang Mpu terdiri dari tiga jenis logam: besi, baja, baja dan nikel atau serpihan meteor. Besi menjadi dasar dari bahan pamor yang berwarna hitam; nikel atau serpihan meteor menjadi bahan pamor yang berwarna putih;  sedangkan baja menjadi sisi tajam yang terletak di tengah-tengah bilah keris. 

Tiga jenis logam itu ditumpuk lalu dipanaskan di tungku perapian. Setelah itu dilumat dengan godam di atas besi penempaan yang disebut paron. Tempaan godam yang bertubi-tubi akan menjadikan tumpukan ketiga jenis logam yang semula menyerupai balok  atau kubus menjadi lempengan panjang dan pipih. Teknik penggunaan dan pengolahan tiga jenis logam ini serupa dengan teknik Sinmai dalam pembuatan pedang Samurai di Jepang.  

Setelah berubah menjadi lempengan panjang dan pipih, logam tersebut ditekuk menjadi tiga bagian lalu dilipat sehingga membentuk lipatan logam dengan tiga lapis. Lipatan logam tersebut kemudian dipanaskan dan ditempa kembali hingga menjadi lempengan panjang dan pipih. Setelah itu kembali lempengan logam tersebut ditekuk menjadi tiga bagian dan dilipat hingga membentuk lipatan logam dengan tiga lapis. Demikian proses penempaan dan pelipatan ini dilakukan secera berulang hingga ribuan bahkan ratusan ribu kali. 

Karena beratnya pekerjaan menempa logam itu, Mpu Keris kerap meminta satu atau dua orang untuk membantunya. Orang itu bisa merupakan kerabat dekat Sang Mpu, bisa juga “orang jauh”.  Yang terpenting adalah orang yang membantu Sang Mpu itu adalah orang yang ia percayai dan mempercayai dirinya untuk bekerja bersama dalam satu langgam. Dengan kata lain, antara Mpu Keris dan orang yang membantunya harus kompak dan sama-sama saling mempercayai. Kalau itu tidak terjadi, Sang Mpu bisa was-was bahwa ayunan godam dari orang yang  membantunya dapat meleset dan mengenai tubuh Sang Mpu. Sebaliknya, si pembantu tersebut harus mendengarkan dengan seksama perintah Sang Mpu saat melakukan penempaan sehingga semua pekerjaan bersama itu berjalan dengan baik dan aman. 

6. PEMBENTUKAN
Setelah proses penempaan sebanyak ribuan kali, ketiga logam yang telah menyatu itu ditempa menjadi keris sesuai bentuk yang diinginkan. Apakah keris tanpa luk (lekuk) atau dengan luk. Jika dengan luk, berapa jumlah luk yang diinginkan. Menurut pakem, jumlah luk berjumlah ganjil. Yang umum adalah bilangan ganjil antara 3 hingga 13. Hanya sedikit keris yang berluk dengan jumlah bilangan ganjil antara 15 – 21. Semua luk itu memiliki kandungan makna dan karakternya masing-masing. 

Selain jumlah luk, pada tahap ini juga sudah ditetapkan ukuran panjang keris. Ketika panjang sudah ditetapkan, maka lebarnya disesuaikan secara proporsional. 

Karena pekerjaan ini melibatkan mood dan intuisi, maka dalam tahap ini Mpu mengerjakan hampir semua hal seorang diri. Saat inilah Sang Mpu menyurahkan seluruh kemampuan artistik dan spiritualnya untuk melahirkan keris indah dan berkarakter. 

Waktu yang diperlukan untuk tahap ini juga sangat relatif. Betapa pun melahirkan karya artistik bernilai tinggi memerlukan ketelitian, ketekunan, kesabaran, dan kecintaan. Untuk semua itu diperlukan waktu sedikitnya tiga bulan. 

7. NYEPUH
“Nyepuh” berasal dari kata “sepuh’ yang berarti  lapisan.  Secara umum  “nyepuh” berarti melakukan pelapisan logam agar logam tersebut menjadi lebih kuat dan lebih indah. Berkait keris pusaka di Bali, “nyepuh” pun berarti demikian, yakni melapisi keris dengan lapisan tertentu yang diyakini dapat memperkuat keris pusaka tersebut secara fisik maupun spirit. 

Di Bali, penyepuhan keris pusaka dilakukan dengan dia cara: fisikal dan spiritual. Yang bersifat fisik, dilakukan dengan mencelupkan keris membara ke cairan lumpur atau minyak atau pun ramuan tertentu. Secara spiritual dilakukan dengan menempelkan keris yang tengah membara ke organ tubuh Sang Mpu. Bisa di telapak tangan, telapak kaki, atau lidah. 

Prosesi Nyepuh secara ritual ini biasanya dilakukan malam hari di sebuah hari baik. Tentu saja acara tersebut dilengkapi dengan sesajen khusus. 

8. NGEWARANGIN
Ngewarangin adalah proses melapisi keris dengan cairan warangan. Tujuannya untuk menjadikan keris tidak mudah mengalami korosi (berkarat). Cairan warangan terbuat dari  mineral yang mengandung unsur arsenikum. Meski cairan warangan dapat melindungi keris dari kerapuhan akibat karat, perlakuan ini tidak boleh sering diterapkan pada keris karena hal justru membuat bilah keris mudah keropos. Penyebabnya, larutan warangan juga mengandung zat asam yang berasal dari perasan air jeruk yang merupakan campuran dari bubuk warangan.

Selain itu, proses pewarangan juga dimaksudkan untuk memunculkan gurat pamor pada keris karena cairan warangan membuat warna besi menjadi semakin hitam dan warna nikel menjadi semakin putih. Tegasnya perbedaan warna besi dan nikel akan memunculkan gurat-gurat yang ada pada pamor bahkan hingga yang setipis rambut. 

Sebelum diwarangi, keris dibersihkan terlebih dahulu hingga warna asli bilah keris terlihat jelas. Segala kotoran apalagi karat tak ada yang menempel pada bilah itu. Setelah bersih, keris direndam dalam cairan warangan selama beberapa jam. Kerap, Mpu Keris meremas-remas keris yang berlumur cairan warangan agar cairan itu lebih meresap ke dalam pori-pori logam. Sesungguhnya hal itu adalah tindakan berbahaya mengingat cairan warangan mengandung racun arsenikum. 

9. DANGANAN & WARANGKA
Setelah bilah keris diwarangi hingga gurat pamornya muncul, langkah selanjutnya adalah membuatkan dangangan (gagang) dan warangka (sarung). Keduanya dibuat oleh ahlinya masing-masing. 

Danganan dapat terbuat dari kayu, gading, atau tulang. Bahan itu diukir menjadi bentuk tertentu sesuai keinginan pemesannya. Pada ukiran tersebut kerap diberi tatahan permata dan logam mulia seperti emas atau perak. Danganan yang sederhana terbuat dari kayu dengan ukiran sederhana atau dibalut tali yang terbuat dari pilinan rambut manusia. 

Warangka terbuat dari kayu. Tentu kayu pilihan. Sebagaimana danganan, warangka juga kerap ditatahi logam mulia dan permata. 

10. PASUPATI 
Pasupati adalah ritual “menghidupkan” keris agar memiliki energi spiritual sesuai yang diinginkan oleh pembuatnya. Untuk menghidupkan keris yang terbuat dari logam tersebut Mpu membacakan mantra-mantra pengurip (doa pemanggil daya hidup) ditujukan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai Dewa Taksu, yakni manifestasi Tuhan dalam yang memberi “daya hidup” pada setiap benda. 

Pada upacara ini Sang Mpu menghadirkan manifestasi PaÅ›upati yang mewakili berbagai inkarnasi Dewa Siwa yakni Sadyojata, Vamdeva, TatpuruÅ›a, Aghora dan IÅ›ana yang ada di lima penjuru mata angin: Barat, Utara, Timur, Selatan dan Tengah. Dalam aksara kelimanya dilambangkan dengan huruf Sa, Ba, Ta, A, dan I.  Semua itu melambangkan mewakili lima elemen utama alam semesta yaitu bumi, air, udara, cahaya dan eter. 

Upacara Pasupati inilah yang menjadikan keris yang semula semata-mata merupakan benda seni menjadi benda pusaka. Kini di dalamnya telah terkandung berbagai rekaman energi niat, harapan, dan spirit dari pembuatnya. 

Setelah upacara Pasupati, kini keris sudah utuh sebagai keris pusaka.  

11. MEJAUMAN 
Secara umum Mejauman merupakan upacara pamit atau mohon diri. Upacara ini menjadi penanda bahwa keris yang telah rampung dikerjakan oleh Sang Mpu akan berpindah tempat tinggal secara permanen dari prapen ke tempat pemiliknya yang baru. Upacara mejauman ini serupa dengan upacara mejauman pada rangkaian upacara pernikahan di mana mempelai perempuan mohon diri dar keluarga besarnya untuk pindah menetap di rumah yang baru bersama suami dan keluarga besarnya yang baru. 

Jadi upacara mejauman pada pembuatan keris ini merupakan upacara serah terima baik fisik maupun spirit dari Mpu Keris kepada pemesan yang kini telah sepenuhnya menjadi pemiliki dari keris tersebut. Sebagai benda pusaka, selanjutnya keris itu akan disimpan di pura atau rumah pemiliknya. (jalanjalanbali/AB)

Post a Comment

0Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*