Bali Permata, Lukisan Bali di Media Keramik

0
Ragam lukis keramik Bali Permata. Foto: I Wayan Martino 

Bali Permata Ceramic adalah sebuah sentra industri kerajinan lukis tradisional Bali bermedia keramik. Mengusung tag line “Bring the beauty of Bali to your home trough our ceramic painting”, usaha kerajinan ini sukses merambah pasar dunia dan eksis melewati tiga dekade.     

SEKITAR awal dekade 1980 an I Nyoman Reken (almarhum) mendirikan  Bali Permata, sebuah usaha kerajian yang memproduksi cinderamata lukisan tradisional Bali pada media  keramik. Ihwal pendirian usaha keluarga itu berawal dari perkenalan Reken dengan Renhilde Jonath, pelukis keramik kebangsaan Australia yang melancong ke Bali dan menginap di Bali Beach Hotel (sekarang Grand Inna Bali Beach Hotel – red) tempat Reken bekerja sebagai house keeper.

Entah bagaimana mulanya, Renhilde menyarankan Reken menggeluti usaha ceramic painting yang belum ada di Bali. Saran itu langsung disetujui Reken. Agar usaha itu bisa berjalan, tentu saja Reken meminta Renhilde mengajari seluk-beluk seni lukis keramik hingga detil-detilnya. Kali ini,  Renhilde yang balas mengiyakan tanpa pikir panjang. Merasa akan mendapat pelajaran berharga untuk perbaikan kondisi keluarga di masa depan, Reken mengajak keluarga dan beberapa kerabatnya untuk turut belajar.
Benar saja, setelah mendapat pelajaran dan segera memulai usaha keramik lukis di sebuah gubuk sederhana di tepi Timur Kota Denpasar, “Bali Permata” besutan Reken menjadi pemain utama pada kerajinan ini sekaligus mengantar keluarga dan kerabatnya melanglang lintas benua mengunjungi berbagai negara untuk memasarkan karya-karya mereka.

Lukisan di pada vas keramik. Foto: I Wayan Martino 

Yang istimewa presiden dan petinggi beberapa negara mengoleksi karya-kara lukisan keramik bercorak gaya Batuan, Pengosekan, Kamasan, dan Young Artist itu sebab hampir semua Presiden RI menjadikannya sebagai cinderamata untuk tamu negara yang berkunjung ke Indonesia.

Seperti apa perjalanan “Bali Permata” hingga eksis melebihi tiga dekade, Maria Pankratia dan I Wayan Martino dari Denpasar Kreatif mewawancarai I Putu "Lengkong" Yuliartha, putra sulung Reken yang kini meneruskan perusahaan kerajinan tersebut. Berikut petikannya:

Bagaimana mulanya produk “Bali Permata” dikenal hingga ke mancanegara?
Waktu mendirikan usaha ini sesungguhnya ayah saya juga bekerja di Bali Beach Hotel (sekarang hotel itu bernama Grand Inna Bali Beach Hotel). Di saat tidak bertugas, ayah nyambi sebagai tour guide

Nah, ketika melakukan guiding untuk turis dari luar negeri itulah ayah mulai memperkenalkan produk kami kepada tamu-tamunya.

Dalam tempo yang tak terlalu lama, produk-produk yang ditawarkan ayah laku terjual. Saya lupa berapa harga perlembar lukisa keramik saat itu…  Seingat saya sekitar Rp150 ribu sampai Rp200 ribu. Sekarang, produk yang sama kami jual Rp2 juta hingga Rp3 juta.

Tapi, meski mendapat tanggapan yang sangat baik dari para turis saat itu, hasil yang kami dapat tak cukup untuk mendongkrak perusahaan menjadi lebih besar lagi. Hingga beberapa tahun perusahaan kami bergulir secara sangat sederhana: bikin produk, kasih harga, tawarkan, ada profit, jual.

Nuansa monochrome pada piring keramik. Foto: I Wayan Martino 

Bagaimana selanjutnya?
Dalam perjalanan akhirnya kami dikenal oleh Pemerintah dan melalui Dekranasda dan Dinas Perindustrian kami diberi kesempatan berpameran di PKB (Pesta Kesenian Bali – red). Itu masih sekitar akhir 1980an. Pada saat itulah Ibu Tien Soeharto (ibu negara saat itu –red) lewat dan melihat produk kami.  Ibu Tien tertarik dan menunjukkan produk kami pada Presiden (Soeharto) yang juga langsung tertarik begitu melihatnya.

Beberapa waktu setelah itu kami mendapat undangan ke Jakarta untuk berpameran. Tapi, dasar orang desa, kami justru merasa gentar. Maklum kami belum tahu sama sekali Jakarta itu seperti apa, siapa yang harus dituju di sana, bagaimana cara membawa barang ke sana, dan sebagainya.

Belakangan, setelah kami tak berangkat, barulah ada penjelasan tentang bagaimana hal-ihwal mengikuti pameran kerajinan atas rekomendasi pemerintah.

Pada 1991 kami diundang kembali perpameran di Jakarta.  Kami datang. Waktu itu pamerannya di JCC (Jakarta Convention Center – red). Saat itu kami memboyong semua produk yang kami miliki. Kayak orang pindahan ke Jakarta, hahaha…  Itu, lagi-lagi, karena kami tidak tahu bayangan tentang situasi Kota Jakarta.

Tak diduga, dalam pameran yang berlangsung  14 hari tersebut, pada  hari ke empat produk kita sudah habis terjual. Jadi kami kayak orang kaya baru waktu itu.

Meski begitu, kami tetap macam orang asing di Ibu Kota. Kami tidak tahu hendak kemana setelah barang kami habis terjual. Jadi kami hanya jalan-jalan di sekitar pameran dan di situlah ayah mendapat lebih banyak wawasan tentang industry kerajinan.

Apa yang membuat produk keularga Anda laku terjual saat itu?
Entahlah. Mungkin kualitasnya. Saya tidak tahu. Tapi seingat saya Menteri Pariwisata, Joop Ave, dan Gubernur Bali, Ida Bagus Oka, ikut mempromosikan produk kami. Mungkin ini menjadi semacam jaminan bagi konsumen mengenai kualitas produk kami.

Sebagian koleksi Bali Permata

Selanjutnya?
Pada sebuah pemeran kami bertemu dengan Mbak Tutut (putri sulung Presiden Soeharto –red), ketua sebuah yayasan yang membina perajin-perajin tradisional di seluruh Indonesia. Waktu itu, diantar oleh seorang kerabat, ibu saya bertemu Mbak Tutut yang selanjutnya memasukkan perusahaan kami dalam daftar usaha binaannya.

Semenjak itulah perusahaan kami masuk ke bursa nasional dan internasional. Mengikuti mekanisme yang berlaku pada saat itu kami mendapat dukungan berpameran di berbagai tempat di dalam dan luar negeri. Melihat kemanfaatannya, begitu merasa sudah mampu melakukan sendiri, meski pada saat-saat tertetu kami tidak mendapat fasilitas pemerintah untuk berpameran, keluarga kami tetap memutuskan untuk mengikuti pameran atas biaya sendiri.
 
Siapa saja yang melukis pada awalnya?
Ya ayah saya. Tapi ayah saya tidak intens melukis. Ia lebih banyak coloring. Itu karena dia nyambi bekerja di hotel dan memasarkan produk saat menjadi tour guide.  Yang banyak melukis adalah saudara saya, saya sendiri, dan beberapa kerabat lainnya.

Kami kan dari Gianyar. Jadi kegiatan melukis bukan bukan hal rumit bagi kami sekeluarga. Saya sendiri yang waktu itu masih SMP sudah bisa melukis karena pengaruh lingkungan.

Kini berapa karyawan di perusahaan Anda?
Jumlah karyawan kami naik-turun. Mula-mula 30 orang. Selanjutnya terus berkurang. Sekarang, tinggal tujuh orang.

Kenapa demikian?
Perubahan situasi yang menyebabkan demikian. Kami mengurangi karyawan ketika terjadi krisis ekonomi dan puncaknya pada kejadian bom di Kuta.

Tapi kami tak mau terpuruk terlalu lama. Perubahan situasi ini kami gunakan sekaligus untuk mengubah pola kerja kami agar lebih efisien dan perusahaan bisa bertahan. Kami mengubah skema kerja. Karyawan yang dulu bekerja di workshop, kini kami bebaskan untuk bekerja di rumah sehingga mereka dapat mengatur waktu mereka untuk mencari income tambahan atau mengerjakan aktivitas sosial di desa. Dan itu terbukti membuat kami mampu bertahan hingga kini.

I Putu "Lengkong" Yuliartha

Bagaimana perkembangan pasar yang perusahaan Anda alami selama lebih dari 30 tahun ini?
Pasar terus berubah-ubah. Dulu, di awal-awal usaha kami menanjak, apa pun lukisan yang kami buat pada produk kami pasti laku. Belakangan, hal itu berubah. Orang mulai memilih-milih dan cenderung  memilih yang premium. Kalau suka, mereka beli tanpa memperhitungkan harga. Yang penting mereka tahu kulaitas produk yang akan mereka beli itu terjamin.

Jadi tidak massif lagi?
Memang dari awal tidak massif. Kita kan produk rumahan. Tapi belakangan, pasar kami lebih mengerucut ke premium dan kami meladeni pasar di wilayah itu.

Masih sering mendapat pesanan dari Istana Presiden?  
Hampir semua Presiden RI pernah memesan produk kami. Ada sih beberapa presiden yang tidak memesan produk kami tapi sebagaian besar presiden kita pernah memesan produk kami untuk souvenir bagi tamu-tamu negara yang dijamu di Istana.

Telah dipasarkan ke mana saja produk-produk Anda?
Ke berbagai negara di Eropa, Asia, dan Australia. Kami beredar dari pameran ke pameran. Lalu ada yang datang ke tempat kami, seperti dari Jerman, misalnya, dulu sampai tiga kali dalam setahun. Mereka datang, memilih, membayar, dan mengirim sendiri ke negaranya. Bayarannya cash.

Jadi transaksinya sangat sederhana. Karena dalam berbsinis kami memang orthodox, hahaha..

Kenapa begitu?
Ya karena kami industri rumahan. Kalau ada yang mesan 1000 item, misalnya,  belum tentu kami mampu memenuhi pesanan itu. Kami hanya memenuhi pesanan semampu kami. Karena itu kualitas kami jaga dengan sebaik-baiknya.

Apa rahasia sukes usaha kerajinan keramik Anda?
Kekhasannya. Produk kami tiada duanya. Orang tidak mungkin menemukannya di tempat lain. Bahkan antara satu produk dengan produk lain yang kami buat pun tidak ada yang sama persis. Masing-masing unik.

Dari sekian puluh tahun perjalanan, apa masalah utama perusahaan Anda?
Knowladge. Pengetahuan menganai seni lukis keramik kan adanya di luar. Untuk maju kita harus sering keluar negeri untuk belajar.  Saya kerap pergi ke Australia dan Eropa untuk belajar tentang seni lukis keramik.

Masalah lain, soal material. Sebagian besar material yang kami gunakan dalam produksi harus kami impor.  Ini berpengaruh pada harga produk yang ujungnya menurunkan daya saing kami di pasar internasional.

Masalah selanjutnya adalah soal sumber daya manusia. Ini lebih berkaitan dengan manajemen yakni bagaimana mengatur sekelompok pekerja seni agar dapat bekerja bersama dalam satu sistem kerja.  Ini
sangat sulit. Anda tahu bagaimana para seniman bekerja, mereka sering moody..

Lukis gaya Ubud di atas Ketamik produk Bali Permata

Bagaimana Anda mengatasinya?
Masalah bahan, kita datangi ke negara  asalnya. Walaupun ada internet , tetap saja pada saat-saat tertentu kita perlu hadir langsung untuk memastikan beberapa hal penting yang sangat berpengaruh terhadap kualita sproduk.

Soal tenaga kerja, kami menjadikan kondisi itu sebagai potensi. Kami bebaskan mereka berkarya sesuasi ritmenya sendiri sehingga masing-masing memiliki kekhasan.

Yang penting, mereka menepati tenggat waktu yang disepakati bersama. Selanjutnya, kami jual keunikan mereka sebagai karya yang tak ada duanya. Jadi kami mengubah kelemahan mereka menjadi keunggulan… Hanya saja, kita harus pandai-pandai memadukan ritme mereka agar tak bertabrakan satu dengan yang lain.

Bagaimana soal pemasaran?
Di pasar lokal tidak ada masalah. Untuk pasar luar negeri, kami menghadapi masalah packaging. Itu dikarenakan produk kami merupakan barang pecah-belah. Pembeli dari luar negeri sering ragu terutama kalu mereka ingin membeli produk yang berukuran besar. Kalau yang berukuran kecil sih no problem... Tapi dua tahun terahir ini, semua berubah tak menentu akibat  pandemi. 

Bagaimana dengan persaingan?
Itu juga masalah penting, tapi kami tak menjadikannya sebagai persoalan yang harus diadukan ke pihak lain karena dalam setiap usaha persaingan selalu ada. Kitalah yang harus pintar membuat strategi untuk memenangi persaingan. Setidaknya survive di ceruk yang kita pilih.

Siapa pesaing terberat?
China! Mereka rajanya soal keramik.

Lukis Barong di atas Keramik Bali Permata

Pernah ke China untuk studi banding?
Pernah. Saya juga pernah ke Jepang membawa produk kami. Saat itu produk kami menjadi produk unggulan ASEAN. Kami menjadi duta ASEAN ke Jepang untuk ASEAN Center. Kurator Jepang terpesona melihat lukisan keramik kita. Mereka kagum kita bisa melukis seperti itu di atas keramik. Namun, tetap saja,  dibanding China kita kalah.

Kekalahan kita pada bahan. Bahan keramik China lebih light tapi kuat sehinga produk keramik mereka secara keseluruhan menjadi lebih bagus. Tapi ini kan bukan permasalahan kami. Kami kan hanya painting.

Kekalahan lain kita dari China untuk perdagangan di Jepang adadalah soal jarak. Pengiriman dari Indonesia ke jepang, lebih lama ketimbang pengiriman dari China ke Jepang. Tapi secara desain mereka mengakui bahwa desain kita tiada duanya karena mengusung desain Bali.

Bagaimana rencana pengembangan ke depan?
Sebelum pandemi merebak kami telah mengubah pola produksi. Karyawan yang tadinya berproduksi di rumah masing-masing akan kami wajibkan bekerja secara reguler di workshop yang kami sediakan.  Hal ini karena usaha ini akan kami ubah menjadi sebuah company yang tidak lagi hanya membuat produk, melainkan juga melayani kursus. Nantinya pengunjung bisa melakukan painting sendiri dengan bahan dan desain yang kami siapkan.  

Tapi, semua itu berantakan akibat pandemi. Pandemi mengubah hampir semua sendi-sendi perekonomian.

Putu Yuliartha menata produk Bali Permata 

Lalu bagaimana selanjutnya?
Tantangan saat ini adalah kecenderungan di mana orang membeli produk tidak cukup hanya dengan menilai apakah produk itu bagus  atau tidak. Saat ini bagus saja tak cukup. Harus ada nilai tambah yang disematkan dalam produk. Harus ada fungsi dan relevansi produk pada si pembeli. Mereka selalu berpikir, akan jadi apa saya setelah membeli produk ini?  

Nah, Bali Permata saat ini tengah melakukan kurasi untuk memberi aded value dari produk yang sudah ada terkait dengan market sekarang. Untuk produksi berikutnya, kualitas akan kami tingkatkan serta kemasan akan kami ubah sedemikian rupa sehingga membawa perubahan bagi siapa pun yang memilikinya. Jadi, ketika mereka membeli produk kami mereka becoming someone
 
Di luar itu, kami juga beradaptasi dengan teknologi. Kami memulai menautkan beberapa produk dengan teknologi blockchain dan NFT. Kami juga menyematkan utilitas-utilitas pada setiap produk sehingga pembeli memiliki privilage yang membuat mereka tidak hanya mendapat produk tetapi juga experience.  Dengan begitu keramik Bali Permata tidak hanya sebuah produk tetapi juga simbol idetitas  si pembeli itu sendiri. 

Dengan kata lain,  setiap produk Bali Permata merupakan representasi dari konsumennya. Ia lahir sesuai karakteristik pembelinya. Semacam custom made, begitu.

Tak kalah penting, kami ingin setiap orang membawa produk Bali Permata sekaligus membawa catatan indah mereka ketika meninggalkan Bali.  Tak semata gift, melainkan semacam media yang merekam atmosfer Bali ke mana pun produk itu dibawa. 

Pemikiran ini menjadi tag line kami yakni: “Bring the beauty of Bali to your home trough our ceramic painting.” (*) 

Editor: Agung Bawantara 
Pewawancara: Maria Pankratia  

Post a Comment

0Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*