Pilar Blanjong, Jejak Kejayaan Bali Kuna

0

Di Banjar Blanjong, Desa Sanur Kauh, Denpasar, Bali terdapat sebuah prasasti yang terkenal dengan sebutan Prasasti Blanjong. Prasasti Blanjong adalah sebuah prasasti pilar yang ditulis pada 835 Caka (913 Masehi) dikeluarkan oleh Raja Bali saat itu, Sri Kesari Warmadewa. Ditengarai, itu merupakan sejarah tertulis tertua di Pulau Bali. Pada prasasti itu disebutkan kata “Walidwipa”, yang merupakan sebutan untuk Pulau Bali.  

Pada sisi prasasti pilar setinggi 177 cm  dan bergaris tengah 62 cm tersebut terdapat tulisan dengan dua aksara dan dua bahasa. Pada guratan aksara Pra-Nagari menggunakan Bahasa Bali Kuno dan pada guratan Aksara Kawi menggunakan bahasa Sanskerta.  Di situ tertulis: “Pada tahun 835 çaka bulan phalguna, seorang raja yang mempunyai kekuasaan di seluruh penjuru dunia beristana di keraton Singhadwala, bernama Çri Kesari telah mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Suwal. Inilah yang harus diketahui sampai kemudian hari.


Dr. W.F Stutterheim, Arkeolog Belanda, yang pertama kali meneliti Prasasti Blanjong  menyatakan bahwa raja yang menerbitkan prasasti tersebut ialah Sri Kesari Warmma(dewa) yang berkeraton di Singhadwala telah mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan Suwal. Gurun diinterpretasikan sebagai Nusa Penida dan Suwal masih diragukan apakah tempat tersebut sama dengan Kutaraja. Candra sengkala yang terdapat pada prasasti terbaca "...sake khecara wahni murti ganite..." yang nilainya sama dengan 839 Saka atau 917 M. Stutterheim juga menyatakan bahwa pengaruh India Utara telah berkembang di Bali sejak abad X, terbukti dengan dipergunakannya huruf Pra-Negari dan bahasa Sansekerta. Ia pun berpendapat bahwa Situs Blanjong merupakan pelabuhan kuna, tempat berlabuhnya kapal dagang India.
 
Antara tahun 1947 – 1950 LC Damais membaca ulang Prasasti Blanjong. Ia mengoreksi pembacaan candra sengkala yang tertera pada prasasati tersebut. Candra sengkala tersebut terbaca "saka'bde sara wahnimurti ganite" yang nilainya sama dengan 835 Saka atau rentang 29 Januari sampai dnegan 27 Februari 914 M. Pembacaan Keraton Singhadwala oleh Stutterheim dibaca ulang oleh Damais menjadi Singharccala.


Tak berselang lama setelah Damais, R Goris mencoba membaca ulang isi Prasasti Blanjong. Goris kemudian mengidentifikasi Gurun sebagai tempat yang terletak di luar Bali dan kemungkinan adalah Pulau Lombok. Suwal dihubungkan dengan Ketewel yaitu sebuah tempat di selatan Sukawati. Selanjutnya para arkeolog sepakat bahwa prasasti tersebut merupakan tanda kejayaan  Raja Sri Kesari Warmadewa.

Pada 1981  I Wayan Ardika melakukan penelitian secara sistematis di Situs Blanjong dengan metode survei permukaan tanah (teristerial) dengan sistem grid. Temuan yang diperoleh selain Prasasti Blanjong sebagai datum point, temuan lainnya adalah arca ganesa, arca perwujudan, arca terakota, arca binatang, sandaran arca, fragmen kaki arca, lingga, unsur bangunan (umpak, kemuncak, makara, miniatur candi), kereweng lokal dan kereweng asing (Cina, Annam dan Eropa). Sebaran kereweng terpusat kurang lebih 300 m di sebelah barat daya lokasi prasasti Blanjong. Data temuan tersebut jika diinterpretasikan kronologinya diperkirakan antara abad X - XIII Masehi. 


Berdasarkan pada temuan arca dan arsitekturnya, diperkirakan berasal dari masa Majapahit (abad XIII - XV) dan memberi indikasi bahwa situs tersebut berfungsi sebagai situs keagamaan atau religious site. Kondisi tersebut didukung pula oleh keberadaan kereweng yang diinterpretasikan sebagai situs pemukiman atau settlement site.

Penelitian lanjutan dilakukan pada 1984, penelitian dengan metode serupa yang dilakukan oleh I Gusti Putu Darsana dan kawan-kawan di lokasi yang belum diteliti sebelumnya yakni 400 - 800 meter sebelah barat daya Prasasti Blanjong menemukan kereweng lokal berupa fragmen wadah tipe pasu, periuk, kendi, tutup, dan tempayan. Juga kereweng asing berupa fragmen wadah tipe mangkuk, piring, tempayan, cangkir, pot bunga, dan botol berasal dari Cina, Annam, dan Eropa.  Gerabah lokal diperkirakan berasal dari daerah sekitar Sanur yaitu Ubung dan Blahbatuh, sedangkan keramik asing diperoleh lewat jalur perdagangan sehingga diperkirakan Situs Blanjong-Sanur sebagai situs pelabuhan kuno yang berfungsi dari abad X hingga XVIII Masehi.

Vijaya Stambha
Pada 2019, Sugi Lanus, peneliti lontar dan aksara Bali, menggagas kembali upaya-upaya “pemuliaan” Prasasti Blanjong yang seolah terabaikan di tengah hituk-pikuknya industri wisata. Sugi Lanus menduga Prasasti Blanjong merupakan Vijaya Stambha (monumen kejayaan) di  pusat  Kota Blanjong Kuno sebagai poros sekaligus pusat peringatan mulainya sebuah peradaban baru. Sugi Lanus membandingkan prasasti pilar di Blanjong dengan The Ashoka Pillar di Vaishali, Bihar, India yang keberadaannya terintegrasi dalam pertamanan dan kota kuno. 


Merujuk hasil ekskavasi tim dari Jurusan Arkeologi Universitas Udayana pada 2006 dan 2007 yang menyimpulkan Blanjong sebagai pemukiman kuno dan pelabuhan kuno, Sugi Lanus menduga  di Blanjong pada masa itu terdapat taman atau kolpleks kuil yang di tengahnya terdapat vijaya stambha.

Keistimewaan Prasasti Blanjong
Isi prasasti Blanjong sudah sangat terkenal di Perancis dan Belanda. Para profesor ahli kebudayaan Indonesia menganggap Prasasti Blanjong sebagai “bacaan wajib” dalam memahami kebudayaan  Indonesia. Bagi para peneliti serius mengenai budaya Bali Prasasti Blanjong merupakan nol kilometer sejarah kebudayaan Bali.

Di sisi lain, keberadaan pura di sebelah Prasasti Blanjong yang saat ini disucikan Krama (masyarakat) Renon diduga kuat sebagai jejak kuil kuno yang diterjang tsunami. Hal itu merujuk data riset para pakar tsunami bahwa ada jejak tsunami kuno di wilayah Ketewel, Sanur, dan sekitarnyayang terjadi sekitar 1000 tahun lalu. Pura Blanjong kemungkinan besar merupakan bangunan suci yang dibangun kemudian sebagai peringatan atas "kota yang hilang" (the lost city of Blanjong). Ini keistimewaan lain situs Blanjong. Ia sekaligus menjadi "pusat informasi paleotsunami", tsunami di jaman kuno. 

Penulis di Pilar Blanjong. Foto: AB 
  
Krama Renon sendiri memiliki Tradisi Ngusaba, upacara besar yang di dalamnya terdapat sesaji  berupa Jerimpen, yakni rangkaian kue pada rakitan bambu yang menyerupai pilar. Istilah Ngusaba sendiri berasal dari kata Sansekerta: Uthsava/ Utsava/ Utsav yang bermakna festival atau perayaan kemenangan.    

Jadi vijaya stambha di Blanjong bukan semata menjadi titik berangkat keberaksaraan dan peradaban tulis Bali, tapi juga titik berangkat perayaan usaba atas kemenangan dharma. Penegakan dharma selalu menjadi motivasi masyarakat Bali Kuno yang dipelopori raja dan kaum intelektual (brahmana,  kaum penjaga aksara dan wahyu), didukung masyarakat luas.

Jadi, di luar dua hal di atas, mengangkat harkat Prasasti Pilar Blanjong juga dapat menjadi momentum mengembalikan akar peradaban Bali pada aksara dan pada kesungguhan menjaga dan memenangkan dharma. *** (Agung Bawantara, dari berbagai sumber

Post a Comment

0Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*