Sukses, Pecha Kucha Night di Denpasar

0
Gelaran presentasi kreativitas dalam acara Pecha Kucha Night di Museum Bali, Denpasar, berlangsung dengan sukses. Sebagai langkah debutan, ajang ini cukup menarik. Beberapa gagasan yang dipresentasikan cukup menggelitik naluri kreatif untuk mencari tandingan yang lebih baik, lebih gila, lebih nonjok, dan seterusnya.

Ajang pamer gagasan kretaif yang mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Denpasar ini diawali oleh presentasi dari grup band De Buntu yang menampilkan materi dengan judul “Kemasan yang Menjual di Era Pemilihan Pemimpin Secara Ekstrim & Bermanfaat untuk Rakyat”.

Dengan gaya yang jenaka grup band indie dengan musik berirama retro rock ini menawarkan cara berkampanye yang oke bagi para politisi yang ngebet jadi pemimpin. Bersamaan dengan itu, dengan gaya yang jenaka pula para musisi yang menyebut diri beraliran “Funthemental” alias riang sepanjang hayat ini mengingatkan kepada pemilih (baca: rakyat) tentang risiko-risiko di balik setiap pilihan mereka.

Bergaya pelawak cabaret, personil deBuntu yang terdiri dari Nowot, Amang, Jhon, Bardon, dan Dinar membuka presentasi Pecha Kucha Night dengan aksi yang menggelitik.

Presentasi kedua disajikan oleh Elena Skoko, penggiat seni yang menjadikan musik dan fashion sebagai bagian yang tak terpisahkan. Pengalaman dalam dunia fashion dimilikinya semenjak 6 tahun di Croatia dan tahun 1991 bertemu fashion designer Pierluigi Voltolina dan Riviera PR king Principe Maurice yang mendorongnya mengikuti kompetisi fashion di Rimini pada tahun 2000. Dia membuat fashion show di catwalk dengan menyertakan bandnya dan mendapat ”best young fashion designer”

Malam itu Elena yang sejak 2008 tinggal di Bali menampilkan paparan berjudul "Trust Your Mojo Sista" yang merupakan kolaborasi kreatifnya dengan musisi Roberto "Bluebird" Ruggeri, musisi Bali, dan musisi dunia lainnya.

Presentasi ke-tiga dibawakan oleh Wahyu Aditya, anak muda kreatif kelahiran Malang , 4 Maret 1980. Dia adalah pendiri dan kepala sekolah Hello;Motion, satu sekolah desain dan animasi dalam negeri di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.

Lulusan terbaik KvB Institute of Technology, Sydney, Australia tahun 2000 ini mempresentasikan hobbynya dengan membuat situs Kementrian Desain Republik Indonesia (KDRI) yang seakan-akan adalah bagian dari cabinet di Republik ini. Presentasinya yang meyakinkan membuat penonton tak mengenali lagi mana yang berupa angan-angan, mana harapan, dan mana kenyataan.

Tak kelirulah jika pada Oktober 2007 dewan juri Inggris menobatkannya sebagai International Young Screen Entrepreneur 2007 di London. Dialah juara dunia termuda di ajang itu.

Selanjutnya, Igo Blado mempresentasikan gagasannya untuk memajukan industri musik Indonesia. Paparan gagasan itu ia beri judul “Membeli Peta Musik Nasional”. Terlihat sekali dalam paparan Igo pengalaman dan konsistensinya memperjuangkan eksistensi musik indie di Bali. Maklum, vokalis Telephone Band ini memang bertekad bergulat habis-habisan di dunia musik indie.

Dari pengalamannya sebagai musisi juga sebagai pengelola music event organizer itulah kristalisasi pikiran dan gagasan didapatkannya. Sebagai catatan Igo dengan The Blado Showbiz nya telah menyelenggarakan sedikitnya 36 pagelaran musik dengan menampilkan sekitar 135 grup-grup band lokal, Nasional maupun internasional

Selain Igo, ada Fiki Satari dari Bandung Creative City Forum yang menyampaikan presentasi yang ia beri judul "Me & Quadranhelix". Presentasi ini merupakan refleksi perjalanan kreatifnya selama ini terutama yang berkaitan dengan aktivitasnya memberdayakan pengusaha kecil di Bandung.

Sebagaimana telah banyak diketahui, Bandung saat ini merupakan pusat pertumbuhan industri fashion alternative (distro dan clothing). Begitu populernya bisnis kreatif ini, gaungnya tak hanya merambah kawasan Bandung, melainkan ke seantero Indonesia. Bahkan, menjadi tolok ukur bagi industri distro di Malaysia yang baru mulai berkembang. Semua itu tak lepas dari usaha salah satu pelaku bisnis distro, yang akrab dipanggil Kang Fiki ini.

Kemudian ada juga presentasi Tegep Octaviansyah, anak muda kreatif yang identik dengan sepatu boot yang pada awalnya diproduksi di tengah krisis moneter 1997. Melalui ekspresinya dalam berbagai desain dan bentuk sepatu boot, Tegep menyebarluaskan karyanya ini hingga ke luar negeri. Kejeliannya melihat peluang dan keinginan kuat untuk menciptakan produk yang berbeda membuat Tegep Boots banyak diminati anak muda gaul, para bikers, artis bahkan pejabat. Ganjarannya, pendapatan Tegep dalam satu bulan berkisar Rp 100 juta-Rp 200 juta.

Presentasinya di Pecha Kucha Night berjudul “Bikers”, yaitu memaparkan cara pandang lain untuk memahami dunia para penggemar motor besar di seluruh dunia.
Presentasi yang tak kalah menarik adalah presentasi yang disajikan oleh Raoul Wijffels, seorang penggiat One Dollar For Music, yaitu organisasi non profit yang bertujuan mendorong potensi kreatif anak muda Indonesia dan memperkuat identitas budaya lewat musik dan seni kreatif.

Dalam Pecha Kucha Night ini Raoul mempresentasikan apa yang menjadi aktifitas One Dollar For Music. Dia memaparkan bahwa organisasi ini mempunyai misi kreativitas berkesinambungan, di mana ujung semua programnya diharapkan mampu menjadikan kekuatan ekspresi kreatif menjadi budaya anak muda Indonesia dan mampu berdialog setara dengan budaya global.

Selanjutnya Saylow, web designer yang aktif di Bali Blogger Community mempresentasikan gagasan unik yang menampilkan wajah-wajah lucu di dunia maya yang ia namai dengan Scarfface.

Presentasi terakhir dibawakan oleh Yoka Sara desainer dari Bali jebolan Jurusan Arsitektur Universitas Udayana ini menyajikan paparan dengan judul "Design in Collaboration Turbulence" . Dalam presentasi yang disampaikan secara bergiliran oleh anggota tim Bale Legend, biro arsitek yang didirikannya, Yoka Sara menyampaikan bagaimana sebuah karya desain yang berkulitas dihasilkan, yakni dengan sebuah model team work yang rapi, egaliter dan akrab.

Di sela-sela presentasi tersebut, tampil sebagai acara selingan penyair Tan Lioe Ie bersama Yande dan Putu Indrawan menampilkan musikalisasi puisi dalam genre musik Blues. Malam itu, kepiawaian Yande memetik gitar melodi dan kemantapan Indrawan (The Best Bassist of Indonesia Rock Festival 1985) membetot bass menyatu dengan energi puitik Tan Lioe Ie melahirkan aksi panggung yang sangat memesona. (abe/jjb)

Post a Comment

0Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*